Pages

    Monday, February 22, 2010

    It’s ‘Me 2.0!’


    Anda sempat tahu fenomena seorang anak remaja bernama Marsha di Twitter? Dia sempat duduk di urutan teratas Trending Topics lho. What is so special about her? Well..specially BAD. Jika Anda ketinggalan beritanya, Anda bisa kunjungi dua situs ini (http://bit.ly/cNKeU6) (http://bit.ly/9qzqrz)

    Seperti yang kita ketahui, internet telah menyuguhkan cara mudah berkomunikasi – baik dengan keluarga, orang terdekat, teman, bahkan dengan orang asing – diawali dengan fenomena mIRC, lalu Forum online, dan seterusnya. Bagi orang-orang yang belum sempat melek internet pada saat itu, Facebook dan Twitter (dua situs Social Media terbesar di dunia saat ini) menjadi celah populer untuk masyarakat dunia mengenal dan menggunakan berbagai macam kegiatan dengan mengatas namakan ‘komunikasi’.

    Di dunia maya, orang tidak perlu takut untuk berpendapat, baik secara halus maupun ekstrim, karena toh tidak face-to-face. Tidak takut dipukul atau pun diludahi. Tapi sadarkah Anda bahwa dalam berkomunikasi di dunia maya you are what you write/type/tweet? Itu termasuk kegiatan Personal Branding Anda yang Anda sedang lakukan terhadap orang-orang di sekitar Anda, termasuk orang-orang yang belum Anda kenal. It is – officially – Me 2.0! Istilah ini saya pinjam dari buku karangan Dan Schawbel yang berjudul ‘Me 2.0: Build a Powerful Brand to Achieve Career Success’.

    Ya! Apa yang Anda tuangkan di dalam profil atau akun Anda di situs Social Media merupakan portfolio Anda. Kalau di KasKus, sistem reward/punish-nya berupa pemberian ‘cendol ijo’ (Anda berlaku baik) atau ‘ bata merah’ (Anda telah menyinggung seseorang).

    Apa dampaknya bagi Anda? Mudah. Jika Anda berperilaku baik di dunia maya, niscaya tidak akan terjadi apa-apa. Namun, apabila Anda berlaku sebaliknya, efeknya belum tentu hanya terhadap diri Anda sendiri. Masih ingat Evan Brimob dengan status kontroversialnya di Facebook? Tidak hanya dia yang dicaci maki oleh pengguna Facebook lain, tapi berawal dari posting statusnya yang kurang menyenangkan, Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) ikut merasakan getahnya.

    Hanya karena tweet dan/atau status update Anda, Anda juga bisa kehilangan pekerjaan! Mengerikan bukan?

    Apa yang bisa kita petik dari sini? Bermain-main di dunia maya bukan berarti Anda dapat berbuat seenaknya. Selayaknya hidup bersosialisasi dengan orang lain, kita juga harus mampu dan mau menjaga perilaku serta budi pekerti kita di dunia maya. Salah-salah kasih komen, bisa-bisa akun Twitter Anda di-suspend seperti Marsha atau Anda dipaksa untuk minta maaf kepada khalayak Facebook seperti Evan Brimob. Dan, jangan salah! Efeknya bisa terasa di dunia nyata Anda sendiri ;)

    Be smart and be wise. Tweetmu/Statusmu adalah (juga) harimaumu. Mari kita ber-Internet Sehat.

    Internet jadi ‘Kambing Hitam’


    Baru-baru ini kita telah saksikan maraknya pemberitaan di media tentang kriminalitas lewat dunia maya. Sebetulnya adakah hikmah yang kita bisa ambil dari situ? Kalau ada, bagaimana menurut analisa Anda dan apa hikmahnya bagi Anda? Tidak hanya sebagai orang tua saja. Tapi juga sebagai seorang blogger, wartawan, pengamat, civitas pendidikan (pelajar dan mahasiswa), peselancar sejati dunia maya, dan pihak-pihak lain yang – baik secara langsung, maupun tidak langsung – membutuhkan internet tiap harinya?

    “Ketika anak anda mengakses … See More konten porno, apa yang akan anda lakukan? berdiam diri? menyita komputer/hp? tentu saja seorang pemimpin, pengayom, pendidik akan merasa bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada anak buah/anak didiknya, terutama dalam bidang yang bersangkutan,”detikcom

    Sebelum saya membaca kutipan-kutipan tersebut, beberapa hari yang lalu saya sempat menonton sebuah acara talkshow di salah satu TV swasta baru dengan mengundang Pak Nukman Luthfie sebagai narasumber. Topiknya (saya tidak ingat persis) adalah tentang ’Kejahatan lewat Facebook’. Sebagian besar pembahasannya adalah justru tentang hilangnya anak remaja bernama Nova dan salah satu temannya Nova (Ari) dihadirkan sebagai narasumber juga, berdampingan dengan Pak Nukman.

    Yang sangat menarik perhatian saya adalah komentar-komentar SMS dari beberapa warga Indonesia mengenai internet (Facebook) yang ditayangkan secara rolling di bagian bawah layar televisi. Komentar-komentar tersebut menurut saya sangat dangkal dan emosional. Tidak heran banyak sekali teman-teman di Twitter meluapkan kekecewaannya atas komentar-komentar tersebut. Beberapa komentar yang saya sempat ingat adalah:
    - Internet itu adalah sarang maksiat baru..
    - Facebook mengancam anak saya
    - Sebaiknya ditiadakan saja internet itu. Tidak ada bagusnya!

    Ini jadi mengingatkan saya atas kasus yang terjadi di sekitar tahun 2006 – 2007, tentang penurunan tayang acara WWF Smackdown di salah satu stasiun TV Kebanggaan Bersama Indonesia. Banyak sekali orang tua yang marah dan menuntut dihilangkannya program tersebut. Saya pikir…kok ya lebay sih? Setahu saya, acara tersebut ditayangkan Pukul 11 malam dan tidak pada akhir pekan. Yang saya ingin tanyakan kepada para orang tua; Apakah seharusnya anak Anda masih bangun jam segitu? Bukannya besok sekolah? Lalu apa peran orang tua dong di pendidikan dalam keluarga?

    Kesamaan dari kedua kasus di atas yang saya tangkap adalah kebiasaan untuk tidak mengintrospeksi diri sendiri terlebih dahulu dan secara prematur melimpahkan kesalahan kepada pihak lain. Program WWF Smackdown dan internet menjadi ’kambing hitam’. Seperti sudah disebutkan di Terms and Conditions Facebook bahwa di umur tertentu, anak-anak DILARANG berpartisipasi di situs jejaring sosial terbesar saat ini. Dan, acara WWF Smackdown ditayangkan BUKAN pada akhir pekan dan penayangannya pun jam 11 malam. Kalau sampe anak-anak lolos, apa iya media/program ini yang harus dipersalahkan? Harusnya bisa lebih kritis daripada menuding tanpa berpikir.

    Semua media dituntut untuk memberikan hiburan dan informasi tidak hanya kepada anak-anak. Dan saya yakin rekan-rekan media sudah memikirkan dengan matang cara penyajiannya agar tidak menanamkan moral buruk kepada umur-umur yang tidak seharusnya. Akan tetapi, hal ini tidak bisa berjalan dari hanya satu sisi saja. Masyarakat dimohon juga berpikir lebih kritis dalam menyikapi dan bersikap. Daripada saling gontok-gontokan, bukankah lebih indah untuk saling mendukung?

    Say No to ‘Drama on Internet'


    Dengan maraknya dunia internet di Indonesia, hukum pun – Cyber Law/ UU ITE – sudah mulai dirancang, bahkan diberlakukan. Seperti yang kita tahu dari kasus Prita Mulyasari, hingga Vira.

    Sebetulnya tidak salah. Internet memang benar-benar membuka dunia baru dan tanpa batas. Orang-orang yang biasanya menyimpan segala sesuatu di otak dan melupakannya begitu saja, sekarang dengan terang-terangan dapat mengemukakan pendapat mereka. Bahkan internet bisa merubah behaviour orang dari introvert, kepada extrovert, karena buah-buah pikirannya ternyata dapat diterima khalayak umum dan penghargaan pun dirasakan.

    Karena hal ini pula lah komunitas-komunitas menjamur dan dengan adanya added value dari komunitas online ini, yaitu kopi darat atau gathering, sudah mulai jelas terlihat bahwa aktivitas di dunia maya pun dapat merubah cara pandang, gaya hidup, bahkan kepribadian seseorang.

    Kakak kelas waktu SMU pernah mengemukakan sebuat kalimat yang masih menyangkut di kepala saya:
    “Peraturan itu dibutuhkan untuk me’manusia’kan manusia.”
    Saya sangat setuju dengan opini ini. Maka dari itu, saya pribadi mendukung adanya dan diaktifkannya Cyber Law di Indonesia.

    TAPI..

    Apa yang terjadi di Indonesia sekarang sedikit masih ber’drama’ (you may say,”Drama Queen/r). Hanya karena status di Facebook, orang sekarang bisa melaporkannya kepada unit Cyber Law di kepolisian dan meminta untuk ditindak lanjuti. Kasus cinta segitiga lah, selingkuh lah, pencemaran nama baik, dan mungkin masih banyak di alam sana yang kita belum ketahui. Jujur, saya tidak bisa membayangkan hal-hal menggelikan apa yang nanti akan timbul setelah ini. Let’s just be realistic. The possibilities are always there right?

    Menurut saya, masih ada hal-hal lain yang lebih patut diberikan perhatian, seperti online fraud dan – ini yang banyak terjadi: plagiarism/kegiatan plagiat.

    Secara singkat, plagiat adalah aktivitas meniru (meng-copy paste) karya original seseorang tanpa ada saduran, tanpa menyebutkan nara sumber penyedia informasi tersebut, dan yang lebih parah, mematenkannya. Betul! Musik mungkin adalah hal pertama yang terlintas di benak kita. Teman-teman pasti sudah banyak lihat band-band lokal yang divonis memplagiat hasil karya sesama musisi, baik lokal, maupun internasional.

    Namun hal ini tidak terlalu menarik perhatian saya untuk dibahas saat ini. Saya lebih tertarik dengan hasil karya intelektual selain musik, yaitu Thesis, Disertasi, Karya Ilmiah, Artikel, dan tulisan-tulisan profesional kita yang sebetulnya menjadi tolak ukur mereka dalam berkarier. Tidak semua orang hidup dari menjual barang khan? Otak juga termasuk komoditi yang bisa dieksploitasi untuk bertahan hidup.

    Hal tersebut menurut saya perlu untuk dipublikasikan secara jelas dan tepat supaya:
    1. Pemilik hak merasa dilindungi luar dan dalam;
    2. Plagiator berpikir ulang untuk melewati batas yang sudah ditentukan dan tidak ‘menyakiti’ hak orang lain.

    So, I say,”Stop being such a Drama Queen/r and do things right! NO MORE DRAMA”

    Menurut teman-teman bagaimana? Apakah ada hal-hal lain di dunia maya – yang mungkin belum terpikirkan oleh Sang Cyber Law – yang sebaiknya dibuatkan peraturannya?

    Mari berdiskusi :)

    Berikut link menuju bacaan tambahan dari Blog Depkominfo: http://bacn.me/8jf

    Thanks for reading and sharing ;)